Opini - Di era modern yang dikuasai oleh data, logika, dan eksperimen, agama sering kali ditempatkan di bawah mikroskop ilmu pengetahuan. Banyak ilmuwan berupaya menjelaskan fenomena keagamaan dengan pendekatan empiris, seolah-olah seluruh dimensi spiritual dapat diuraikan ke dalam rumus biologi, sosiologi, atau psikologi. Dari sinilah lahir pandangan yang disebut reduksionisme agama yakni upaya menafsirkan agama hanya sebagai hasil evolusi manusia, refleksi kebutuhan sosial, atau produk aktivitas saraf di otak.
Bagi saya, pendekatan semacam itu bukan sekadar penyederhanaan, melainkan pengabaian terhadap hakikat terdalam dari keberagamaan. Reduksionisme berusaha menjelaskan mengapa manusia beragama, tetapi sering gagal memahami untuk apa manusia beragama. Ia menguraikan bentuk luar agama, tetapi menafikan makna batinnya. Seolah-olah doa hanyalah kebiasaan sosial, zikir hanyalah teknik menenangkan diri, dan iman hanyalah hasil latihan otak. Pandangan ini mengabaikan kenyataan bahwa pengalaman spiritual tidak selalu dapat ditakar, melainkan dirasakan dan dimaknai.
Dalam filsafat ilmu, setiap bentuk pengetahuan selalu lahir dari paradigma tertentu. Ilmu pengetahuan modern berdiri di atas paradigma empiris-positivistik yang menuntut bukti teramati dan dapat diukur. Paradigma ini berhasil besar dalam memahami dunia fisik: dari gerak planet hingga struktur genetik. Namun ketika diterapkan pada realitas religius, ia menemui batasnya. Pengalaman iman bukanlah sesuatu yang bisa diulang dalam laboratorium atau dibuktikan melalui statistik.
Tokoh-tokoh seperti Paul Ricoeur dan Mircea Eliade menegaskan bahwa agama adalah teks hidup yang penuh simbol, mitos, dan makna. Ia bukan sekadar sistem kepercayaan, melainkan cara manusia menafsirkan eksistensinya di dunia. Simbol-simbol religius, seperti kisah penciptaan, surga, atau pengorbanan, mengandung kedalaman hermeneutik yang tidak bisa direduksi menjadi fenomena biologis atau sosiologis belaka. Ketika sains berusaha menyingkirkan makna ini, yang tersisa hanyalah kerangka kosong tanpa ruh.
Reduksionisme agama sering berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah mesin kompleks yang bekerja berdasarkan hukum-hukum alam. Pikiran dianggap sekadar hasil reaksi kimia otak, kesadaran hanyalah ilusi evolusioner, dan cinta atau doa hanyalah mekanisme sosial untuk bertahan hidup. Pandangan ini, meskipun menarik secara ilmiah, gagal menjelaskan aspek paling manusiawi dari manusia itu sendiri: pencarian makna.
Seorang sufi yang menangis dalam kesunyian malam, seorang ibu yang berdoa untuk keselamatan anaknya, atau seorang ilmuwan yang kagum terhadap keindahan semesta semuanya melampaui sekadar aktivitas neuron. Ada kesadaran batin yang tidak dapat dirumuskan oleh kalkulasi biologis. Filsafat eksistensialis, dari Kierkegaard hingga Gabriel Marcel, mengingatkan bahwa manusia bukan hanya makhluk berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang mencari makna (homo religiosus). Kebutuhan spiritual bukanlah anomali, melainkan inti dari keberadaan manusia.
Masalah utama reduksionisme agama bukan pada sains itu sendiri, melainkan pada ideologi yang muncul darinya: saintisme keyakinan bahwa sains adalah satu-satunya sumber kebenaran. Dalam pandangan ini, apa pun yang tidak dapat diukur dianggap tidak nyata. Akibatnya, nilai, etika, dan makna hidup perlahan tersingkir dari percakapan publik. Saintisme mengubah sains dari alat menjadi agama baru yang menuntut kepatuhan mutlak.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan justru lahir dari refleksi filosofis dan religius. Kehausan akan kebenaran, keteraturan, dan keindahan alam semesta berakar pada kesadaran spiritual manusia. Tanpa landasan nilai, kemajuan sains berisiko kehilangan arah. Inilah sebabnya mengapa banyak krisis modern kerusakan lingkungan, kesenjangan teknologi, hingga kecemasan digital tidak bisa diselesaikan hanya dengan solusi teknis. Ia membutuhkan kebijaksanaan moral dan spiritual.
Dalam konteks kekinian, perdebatan antara sains dan agama kembali mencuat melalui isu-isu seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), rekayasa genetik, dan eksplorasi luar angkasa. Banyak ilmuwan berbicara seolah manusia mampu menjadi “pencipta baru” melalui teknologi. Namun filsafat mengingatkan: kemampuan mencipta tidak selalu berarti memahami makna penciptaan. Kita bisa membuat mesin berpikir, tetapi belum tentu memahami apa arti berpikir itu sendiri. Kita bisa merekayasa kehidupan, tapi belum tentu mengerti nilai kehidupan itu.
Salah satu hal yang tak dapat dijelaskan oleh reduksionisme adalah kekuatan transformatif dari pengalaman religius. Sejarah menunjukkan bahwa iman mampu mengubah perilaku manusia secara radikal. Seseorang yang dahulu keras bisa menjadi lembut; yang tamak bisa menjadi dermawan; yang putus asa bisa menemukan harapan. Bagaimana menjelaskan perubahan batin semacam ini dengan teori evolusi atau reaksi kimia otak?
Filsafat hermeneutik menegaskan bahwa pengalaman keagamaan adalah bentuk penyingkapan makna (unveiling of meaning). Ia bukan sekadar proses mental, melainkan perjumpaan eksistensial antara manusia dan sesuatu yang melampaui dirinya—yang disebut orang beriman sebagai Tuhan. Pengalaman ini tidak dapat diukur, tetapi bisa dirasakan melalui perubahan moral, etis, dan emosional dalam diri seseorang. Itulah dimensi yang luput dari analisis reduksionistik.
Kritik filsafat terhadap reduksionisme bukanlah penolakan terhadap sains, melainkan ajakan untuk menempatkannya secara proporsional. Sains dan agama tidak harus saling meniadakan. Sains menjelaskan “bagaimana” dunia bekerja, sedangkan agama menjawab “mengapa” dunia ini bermakna. Ketika keduanya bekerja bersama, manusia memperoleh pengetahuan yang utuh pengetahuan yang tidak hanya benar secara logis, tetapi juga bijak secara moral.
Dalam konteks Indonesia, di mana tradisi spiritual masih kuat, dialog antara ilmu dan agama justru sangat relevan. Tantangan seperti degradasi moral, polarisasi sosial, hingga krisis lingkungan membutuhkan perspektif yang memadukan rasionalitas dan spiritualitas. Filsafat ilmu bisa berperan sebagai jembatan antara keduanya mengingatkan bahwa kemajuan teknologi tanpa arah etis hanya akan menambah kekacauan.
Akhirnya, reduksionisme agama gagal bukan karena keliru secara metodologis, tetapi karena miskin secara eksistensial. Ia lupa bahwa ilmu pengetahuan dan iman berakar pada dorongan yang sama: rasa ingin tahu terhadap misteri kehidupan. Hanya saja, sains menjawabnya dengan pengukuran, sedangkan agama menjawabnya dengan penyerahan diri. Keduanya sahih dalam domainnya masing-masing.
Filsafat ilmu mengingatkan kita bahwa batas ilmu pengetahuan bukanlah akhir dari pengetahuan itu sendiri, melainkan pintu menuju perenungan yang lebih dalam. Memahami agama tidak cukup dengan menjelaskannya, tetapi juga dengan menghayatinya. Agama tidak menuntut sekadar pengetahuan, melainkan kesadaran—kesadaran bahwa di balik setiap teori dan data, selalu ada misteri yang menunggu untuk diselami.
Di zaman ketika manusia semakin pandai menciptakan, namun sering lupa merenung, filsafat mengajak kita untuk berhenti sejenak: bukan untuk menolak kemajuan, tetapi untuk meneguhkan arah. Sebab ilmu tanpa kebijaksanaan hanyalah kekuatan tanpa tujuan; dan iman tanpa refleksi hanyalah keyakinan tanpa pemahaman. Keduanya baru bermakna ketika berjalan beriringan, menuntun manusia menuju kebenaran yang bukan hanya bisa dibuktikan, tetapi juga bisa dirasakan.
Akbar Miswari
Pascasarjana KPI UIN SUNA Lhokseumawe
