Aceh kembali bersuara. Bukan lewat senjata, tapi lewat ingatan panjang, kesadaran sejarah, dan luka lama yang belum juga sembuh. Di tengah sorotan publik nasional, kekecewaan rakyat Aceh kembali mencuat—bukan karena hal baru, tapi karena sejarah yang terus diabaikan. Sebuah keputusan sepihak soal status pulau yang sebelumnya menjadi bagian dari Aceh seolah menghapus eksistensi sejarah dan hak yang diwariskan turun-temurun.
Aceh merasa ditinggalkan. Dihilangkan dari peta narasi bangsa yang katanya satu, tapi kerap menutup telinga pada suara dari daerah. Ini bukan sekadar garis batas di atas kertas ini tentang martabat, tentang sejarah, dan tentang tanah yang telah lama menjadi bagian dari jantung identitas Aceh.
Namun rakyat Aceh tidak tinggal diam. Dari lorong-lorong kampung hingga ruang-ruang diskusi di kampus, semangat perlawanan tumbuh. Bukan dengan kemarahan yang membakar, tapi dengan tekad yang bernas. Ini adalah perjuangan untuk menegaskan kembali bahwa apa yang menjadi milik Aceh, tidak bisa diambil begitu saja. Tidak bisa diganti dengan keputusan birokrasi yang kering dari rasa.
Kini, suara-suara muda tampil ke depan. Intelektual muda Aceh tidak hanya datang membawa data dan argumen, tapi juga membawa hati dan nurani. Mereka hadir sebagai penyambung harapan, pewaris semangat perjuangan yang memilih jalan damai, jalan terarah, dan jalan penuh cinta terhadap tanah kelahiran.
Karena Aceh telah belajar: bahwa perjuangan tak selalu harus keras. Ia bisa hadir dalam bentuk paling beradab—melalui tulisan, orasi, gerakan kolektif, dan kesadaran sejarah yang tajam.
Republik ini mungkin satu, tapi Aceh punya jati diri yang tidak bisa dihapus begitu saja. Seperti pepatah lama: bambu tak akan tumbuh jauh dari rumpunnya. Maka, apa yang pernah menjadi bagian dari Aceh, akan selalu kembali pada Aceh.
Pulau itu milik Aceh. Dan akan selalu menjadi milik Aceh.