Lhokseumawe—Kota di ujung utara Pulau Sumatra ini kembali menarik perhatian publik. Setelah dikenal sebagai “Kota Dolar” karena geliat ekonomi dari industri gas alam yang digerakkan oleh perusahaan multinasional seperti ExxonMobil dan PT Arun, kini Lhokseumawe berbenah identitas. Tugu ikonik di tengah kota yang sebelumnya berbentuk rencong, kini berubah menjadi simbol Dinar. Sebuah langkah simbolik yang menyiratkan perubahan arah: dari ketergantungan ekonomi kapitalis ke arah visi peradaban Islam yang berdaulat.
Julukan “Kota Dolar” bukan sekadar istilah populer, tetapi cerminan masa lalu ketika kapital asing mengalir deras, membentuk lanskap sosial-ekonomi Aceh Utara. Namun, kemakmuran yang dihasilkan tidak sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat lokal. Yang tersisa hanyalah bayang-bayang luka struktural dan ketimpangan sosial.
Kini, perubahan simbol menjadi Dinar menandai fase baru. Dinar bukan sekadar mata uang logam, melainkan lambang kebangkitan nilai-nilai Islam yang pernah berjaya pada masa Kesultanan Samudera Pasai. Kota Lhokseumawe ingin kembali menautkan dirinya dengan akar sejarah, dengan semangat perdagangan yang adil, ekonomi beretika, serta tata kelola yang transparan dan partisipatif.
Simbol Dinar bukan hanya soal estetika atau sekadar “branding” kota. Ia membawa pesan: bahwa pembangunan tidak semata mengejar angka, melainkan juga nilai. Ia ingin menyulut kembali semangat masyarakat untuk membangun kota berdasarkan prinsip spiritualitas, sejarah, dan keberlanjutan.
Namun, tantangan ke depan tidak ringan. Simbol harus diiringi kebijakan nyata. Apakah pemerintah daerah mampu menerjemahkan semangat Dinar ke dalam sistem fiskal, kurikulum pendidikan, penguatan UMKM, dan pemberdayaan ekonomi syariah? Apakah ini hanya pergantian nama atau benar-benar transformasi kultural?
Keberanian memilih simbol Dinar patut diapresiasi. Tapi pekerjaan sesungguhnya baru dimulai. Kota ini harus menjadi contoh bagaimana simbol tidak berhenti sebagai ornamen, melainkan hidup dalam program dan kebijakan. Dinar harus menjadi landasan berpikir dalam pembangunan—mulai dari ruang kota, ekonomi, hingga budaya.
Lhokseumawe sedang menulis ulang identitasnya. Bukan dengan melupakan sejarah luka, tetapi dengan menafsirkan ulang dirinya. Dinar bukan sekadar menggantikan Dolar. Ia adalah upaya menanamkan ruh baru, sebuah tafsir ulang tentang siapa kita dan ke mana arah pembangunan harus dijalankan.
Penulis Abdul Mugni Sosiolog Agama UIN Sulthanah Nahrasiyah, Lhokseumawe.